Desa Wisata Baha memiliki berbagai tradisi dan kebudayaan khas desa yang masih dilestarikan hingga sekarang. Salah satu tradisi yang masih dijaga oleh masyarakat Desa Wisata Baha adalah membuat jerimpen. Jerimpen adalah salah satu media yadnya masyarakat umat Hindu, yaitu korban suci tulus ikhlas yang menjadi simbol permohonan kehadapan Tuhan agar diberikan berkah secara lahir dan batin. Jerimpen ini dapat berupa jerimpen daging dan jerimpen gebogan atau buah. Jerimpen ini memiliki tinggi mencapai 1,5 meter yang terdiri dari banyak olahan daging yang keberadaan serta peletakannya memiliki makna tersendiri.
Sejatinya, jerimpen adalah media yadnya yang dapat ditemukan di banyak daerah di Bali. Namun, jerimpen di Desa Wisata Baha memiliki perbedaan di mana jerimpen ini juga merupakan pelengkap upacara pernikahan di Desa Wisata Baha dimana pada saat Hari Raya Galungan, seluruh keluarga dari pihak yang menikah memberikan sebuah jerimpen untuk dipersembahkan. Menurut I Wayan Ngardi, salah satu masyarakat yang kerap membuat jerimpen di Desa Wisata Baha, jerimpen ini juga menyimbolkan alam bhur, bwah, dan swah di mana bhur berarti alam bawah, bwah berarti alam tengah, dan swah yang berarti atas. Prinsip alam ini sangat erat dengan masyarakat Hindu Bali pada umumnya.

Jerimpen Desa Wisata Baha memiliki pondasi utama yang berupa batang pohon pisang dengan diameter sekitar 20 cm. Bagian tengah batang pohon pisang ini dibalut dengan lilitan daun pohon aren serta janur yang telah dibentuk sedemikian rupa. Sedangkan bagian atasnya digunakan sebagai tempat menusuk sate yang telah disediakan. Sate yang digunakan adalah sate lilit babi, sate kuwung, dan japit balung. Sate lilit babi diletakkan di bagian paling bawah, sedangkan sate kuwung dan japit balung diletakkan di atas. Di beberapa sate kuwung diberikan cabai merah di ujung untuk menambah estetika serta berfungsi mengusir lalat agar tidak hinggap di sate. Sate kuwung ini berbentuk melingkar dengan daging kulit babi yang diiris agar dapat melengkung dan menambah estetika jerimpen. Beberapa sate kuwung dan jepit balung ditusuk terlebih dahulu pada tusuk sate yang terbuat dari kayu pohon jaka yang telah diukir agar sate lebih kokoh dan memberi nilai seni. Beberapa sate kuwung yang berukuran lebih besar diletakan di sembilan penjuru mata angin sebagai simbol dewata nawa sanga, yaitu sembilan dewa penguasa di setiap penjuru mata angin dalam konsep Agama Hindu di Bali. Pembuat jerimpen juga kerap meletakkan umbul-umbul dan payung kecil pada bagian depan jerimpen yang bermakna sebagai pintu masuk alam bhur, bwah, dan swah. Pada puncak jerimpen, diletakkan pucuk bunga serta hati yang telah dibentuk segitiga yang menyimbolkan ketulusan hati manusia saat ber-yadnya.
Proses pembuatan jerimpen Desa Baha ini memerlukan waktu sekitar 2 jam dimana satu orang bertugas untuk membuat sate dan satu orang lainnya bertugas menusuk sate ke batang pohon pisang. Banyak masyarakat Desa Baha membuat jerimpen tidak hanya untuk keperluan sendiri, tetapi juga menerima pesanan jerimpen dari masyarakat lain. Jerimpen di Desa Wisata Baha ini memiliki harga yang beragam di mana harga ini bergantung harga babi di pasaran serta pada tingkat kesulitan seni yang diterapkan dalam membentuk sate.
Penulis | Teja Purnama
Editor | Made Sera Septiani